JIKA HIDUP MASIH TERGANGGU DARI HINAAN DAN PUJIAN ORANG LAIN, WASPADALAH!

Tantangan Menulis Hari ke-148

Oleh: Bernardus Ari Kuncoro

Ketika hidup bermasyarakat, bekerja, atau berorganisasi, Anda pasti pernah merasakan berbagai macam hal.

Mulai dari hubungan yang manis hingga pahit. Erat sampai renggang. Kaku hingga seketika luwes. Formal sampai kasual. Macam-macam. Gado-gado alias Nano-nano.

Setiap pribadi saja unik. Bisa dihitung, jumlah interaksi yang terjalin di dunia ini berapa? Akan melebihi populasi penduduk dunia, dengan nilai kombinasi n(n-1), bukan?

Pada saat saya usia enam sampai 18 tahun, lingkungan sekolah menjadi sandbox saya. Ketika bergaul dengan teman-teman sebaya atau berinteraksi dengan guru-guru, dekat maupun yang tidak, rasa sensitif sering muncul. Wajar. Bisa jadi karena saya belum berpengalaman. Masih minim pembelajaran.

Apa saja persoalannya? Seorang guru pernah ada yang nyinyirkok ketua kelas awake cilik banget. Sopo sing arep nggatekne? Dituduh cari muka sama kawan. Sok belajar, kalau guru melihat. Sampai mendapatkan pujian yang tidak tulus. Di depan mata dielu-elukan karena A-B-C, tetapi di belakang terdengar ngedumel dan menyebarkan ketidaksukaan. Alias ngegibah.

Ketika sekarang jadi pemimpin tim, ada saja drama yang terjadi. Sehingga harus saya pikirkan bagaimana menjaga agar dinamika tim terus mengalir dengan cantik. Tetap bisa memiliki ruang untuk tumbuh baik secara individu maupun kelompok.

Benar saja, semakin sering diuji, semakin saya banyak belajar. Tidak terlalu mempersoalkan hinaan atau cacian. Bahkan tidak butuh dan maruk lagi dengan pujian. Mau komentar positif atau negatif, ya terima-terima aja. Bagaikan bus malam, ya tetap maju lancar.

Ah, jadi teringat sebuah pepatah dari seorang pesohor toleran. Gus Dur. “Orang yang masih terganggu akan hinaan dan pujian, berarti ia masih hamba amatiran.”

Image
Sumber: Twitter @nahdlatululama

Hidup adalah sebuah paket lengkap. Bukan pilih-pilih menu ala carte di restoran. Maunya manis-manis semua. Yang pahit-pahit di tinggal. Maunya dipuji terus. Giliran dihina, balas lagi dengan lebih dari hinaan. Kapan damainya? Belajarlah menerima seutuhnya.

Kalideres, 27 Agustus 2021

Pernah terbit di sini pada 23 November 2020

Wanna support me?

Follow by Email
LinkedIn
Share