Tantangan Menulis Hari Ketujuh – Batch Kedua
Oleh: Bernardus Ari Kuncoro
Saat saya menjadi staff, bujangan, dan belum ada tanggungan camacam, diminta harus mengerjakan tugas dan hadir secara fisik di kantor pun tak jadi masalah. Bahkan makin lama di kantor, makin betah.
Mengapa demikian? Pertama, karena jarak tempat kost dengan kantor yang dekat. Kedua, di kantor ada air conditioner. Sedangkan tempat kost saya di sudut Mampang Prapatan dulu, tidak memiliki fasilitas pendingin udara. Daripada pepanasan di kamar kost, mendingan bersejuk ria di kantor.
Namun, suasana chill di office manapun perlahan-lahan juga sirna. Apalagi untuk saya yang saat ini sudah berkeluarga. Punya tanggung jawab lain yang mesti ditunaikan. Mau meeting di kantor sendiri atau di tempat klien, rasanya harus ada esensi dan efisiensi. Kalau yang mengundang saja telat tanpa permisi, rasanya pengin mau mencubit. Nggak peduli klien atau bukan. Seenaknya menunda. Kalau sekali dua kali kejadian sih, masih sabar. Tapi kalau berkali-kali? Bisa jadi memang bawaan. Cukup asal tahu saja.
Man teman budiman, waktu memang tidak dapat dibeli. Mengapa? Setiap orang memiliki jatah yang sama. Yaitu 24 jam sehari, tujuh hari seminggu. Yang membedakan adalah bagaimana orang-orang dapat memanfaatkan waktu tersebut. Menghargainya. Memberikan value.
Kalau dikit-dikit ngundang meeting mendadak. Padahal dia tahu ada tool seperti chat, email, calendar dan kawan-kawannya untuk atur agenda. Ya, siap-siap Anda jadi orang yang dicap boros waktu. Lama-lama banyak yang akan wassalam.
Nggak heran kalau kolega atau tim Anda nyinyir “Meeting melulu, kapan kerjanya?”
Kadang begitulah realita. Ada masa menerima dengan lapang dada. Namun juga ada batasnya. Agar tidak ikut-ikutan toxic dan membuat orang di sekitar Anda terkena dampaknya. Mesakke.
Kalideres, 6 April 2021