Tantangan Menulis Hari ke-188
Oleh: Bernardus Ari Kuncoro
Masa kecil identik dengan kegiatan bermain. Bahkan untuk konteks kekinian, orang dewasa juga bisa saja senang nge-game. Bisa pakai gawai ataupun tanpa alat elektronik pintar. Bisa dengan fisik atau pikiran. Asal jangan heart game alias main hati. Hihi. Nanti kasihan, yang dimainin. Bisa saja jadi dendam. Masuk kasus kriminal. Terus ada yang dipidana dan jadi korban. Hingga putus harapan. Cukup sampai di judul lagu Andra and The Backbone saja.
Buat yang lahir di akhir tahun 80-an atau awal 90-an dan tinggal di desa, aku pernah mengalami masa-masa happy itu. Bermain bersama teman-teman di hamparan halaman. Permainan tradisional. Tanpa listrik. Komputer saja waktu tidak ada. Adanya mesin ketik, merek royal yang didapat dari Bapak untuk keperluan membuat laporan pekerjaannya.
Kala itu benda-benda yang tersebar di sekitar neighborhood adalah pecahan genteng yang terbuat dari tanah liat. Entah siapa yang menciptakan permainan ini sebelumnya. Kami sering berkumpul dan mengadakan permainan seru yang memiliki padanan dalam Bahasa Inggris, Hide and Seek. Meskipun sepadan, game kearifan lokal ini beda. Si seeker tidak hanya berhitung satu dua tiga sampai sepuluh, namun ada tantangan yang mesti dilaluinya.
Pertama-tama kami membuat lingkaran menggunakan tongkat di atas tanah yang ditulisi nomor satu sampai dengan lima. Lantas para pemain wajib melemparkan pecahan genteng alias ‘gacuk’ tersebut ke arah lingkaran itu. Yang mendapatkan skor paling rendah akan bertugas. Yang harus dia kerjakan adalah menyusun ‘gacuk’ menjadi sebuah menara. Di saat dia menyusun gacuk, anak-anak lainnya sembunyi. Tugas dia bertambah. Tidak hanya sebagai pencari atau seeker, tetapi juga sebagai keeper.
Pada saat itulah si penjaga harus mencari yang sembunyi, sambil menjaga agar menaranya tidak dijatuhkan oleh pemain lain. Pada saat dia menemukan dan melihat teman-temannya yang sembunyi, dia menyebutkan namanya. Lalu si penjaga harus melangkahi menara itu sebagai penanda sah pemain itu sudah ditemukan.
Ada saatnya di mana si penjaga itu komet (baca dengan e pepet, bukan e taling seperti pada kata senja, bukan pena). Keadaan ini biasanya dialami oleh si anak yang gagal menjaga menara atau tidak mau mencari pemain lain yang sembunyi.
Di situlah serunya. Ada risiko. Kalau mencari terus tetapi menara alias ‘lenong’-nya tidak dijaga, dia akan terus-terusan jadi penjaga.
Dua puluh tahun lebih berlalu. Sudah tidak pernah aku bermain ‘jogo lenong’ bersama teman-teman. Namun, dari permainan ini aku bisa menarik hikmat yang dalam. Untuk bahan permenungan.
Banyak orang mencari-mencari-mencari dan mencari. Entah itu harta, cinta, dan tahta. Tetapi dia lupa bahwa ‘menara’-nya juga butuh dijaga. Gubug yang ada di dalamnya, termasuk kesehatan tubuh, jiwa, dan orang-orang di lingkup keluarganya butuh dirawat. Dirumat.
Well, kudoakan kamu baik-baik saja. Tanpa kekurangan suatu apa. Amin
Sehat-sehat selalu, ya!
Kalideres, 4 Februari 2021