MENDADAK LAHIRAN (1/2)

Berdasarkan kisah nyata.

Pukul empat sore. Tepatnya hari Sabtu 30 Oktober 2021. Saya dan Kiran, anak perempuan saya yang berusia lima, sedang bermain bulutangkis di depan rumah.

202

Oleh: Bernardus Ari Kuncoro

(Berdasarkan kisah nyata)

Langit sore mulai memerah. Angin bertiup lembut, menggoyangkan dedaunan di depan rumah. Saya dan Kiran, anak perempuan saya yang baru berusia lima tahun, sedang asyik bermain bulutangkis di halaman. Suara tawa kecilnya bercampur dengan bunyi kok yang beradu dengan raket. Sabtu ini terasa begitu damai.

Namun, ketenangan itu seketika pecah.

Pintu rumah sebelah terbuka dengan keras. Pak Riyan—tetangga kami—berlari keluar dengan wajah penuh kepanikan. Napasnya tersengal, matanya liar seperti mencari sesuatu.

“Ri, kira-kira ada bidan yang bisa dipanggil nggak, ya?” suaranya tergesa, hampir bergetar.

Saya menurunkan raket. Dada saya tiba-tiba terasa sesak oleh firasat buruk.

“Kenapa, Pak?” tanya saya.

Pak Riyan menelan ludah, tangannya menggenggam rambutnya sendiri. “Pembantu gue… dia lahiran di kamar. Bayinya udah keluar!”

Sejenak saya terdiam. Otak saya bekerja cepat, mencari solusi. Ini situasi darurat. Saya harus berpikir jernih.

Dulu, saat masih bekerja di Filipina, saya sering bergaul dengan para dokter yang sedang mengambil spesialis. Beberapa di antara mereka kini sudah menjadi dokter ahli. Mungkin salah satunya bisa saya hubungi.

Tanpa berpikir panjang, saya berlari masuk ke dalam rumah, melewati ruang tamu dengan langkah tergesa, langsung menuju ke istri saya yang sedang duduk mengeringkan rambut sehabis praktik sore.

“Beib! Pembantu Pak Riyan lahiran di rumahnya! Gimana ini?” Suara saya sedikit gemetar.

Istri saya, seorang dokter mata, langsung mendongak. Matanya menyiratkan keterkejutan, tapi dia tetap tenang.

“Mending langsung dibawa ke rumah sakit aja, to,” katanya.

“Lha, ini bayinya udah lahir. Pak Riyan bingung cara bawa ke rumah sakit! Gimana kalau kamu telepon Irene?”

Irene adalah teman baik kami, seorang dokter kandungan di rumah sakit terdekat. Dia pasti tahu harus bagaimana.

Istri saya buru-buru mengambil ponselnya. Jemarinya dengan lincah menekan layar, lalu menempelkan ponsel ke telinga. Saya bisa melihat alisnya mengerut. Satu detik, dua detik, lima detik…

Tidak ada jawaban.

“Tak coba lagi, ya. Biasanya Irene jarang ngangkat HP kalau lagi sibuk,” katanya dengan suara serak.

Saya menggigit bibir. Waktu terus berjalan, setiap detik terasa seperti bom waktu yang siap meledak. Bayi yang baru lahir butuh penanganan segera. Kami tak bisa menunggu lebih lama.

Saya menoleh pada istri saya. “Apa aku telpon Dokter Johnny aja?”

Dokter Johnny adalah dokter anak kami. Rumahnya tidak terlalu jauh. Mungkin dia bisa memberi instruksi atau bahkan datang langsung.

Istri saya langsung mengangguk. “Ya, bener! Cepat telepon!”

Jari-jari saya gemetar saat mengetik nama Dokter Johnny di kontak. Saya menarik napas panjang, lalu menekan tombol panggil.

Nada sambung berbunyi…

Lama…

Apakah dia akan mengangkat?

Bersambung.

Wanna support me?

Follow by Email
LinkedIn
Share