218
Oleh: Bernardus Ari Kuncoro
Rabu. Siang hari. Kiran, istri, mertua, dan saya sedang dalam perjalanan pulang dari sebuah mall besar di bilangan Jakarta Barat.
Saya berada di dalam mobil sedan putih. Kali ini bukan saya yang mengendarai, karena saya ingin fokus kerja pukul satu siang. Posisi duduk saya di belakang bersama Kirana. Di depan, istri saya menyetir, dan mama mertua saya duduk di sebelah kiri depan.
Kami melewati Jalan Daan Mogot ke arah barat. Sebelum perempatan lampu merah Cengkareng, suasana lalin agak tersendat. Padat merayap. Dan, saat itu beberapa mobil sedang stop, termasuk mobil kami.
Tiba-tiba…
Ada bunyi “dug” keras dari belakang mobil. Refleks saya menoleh ke belakang. Ternyata truk warna kuning menabrak belakang mobil kami. Saya buka pintu dan menanyakan ke sopir truk.
“KTP, Pak!” pinta saya. (galak mode: on)
Kemudian dari dalam mobil istri saya bilang. “Sama STNK, ya.”
“OK, saya juga minta STNK-nya, ya!”
Laju lalin terhenti oleh mobil kami di lajur kanan. Beberapa mobil di depan kami sudah melaju.
Lantas, kami sepakat untuk menepi guna menyelesaikan persoalan ini.
Awalnya si Bapak (beriniisial T) bilang seperti ini. Jika STNK yang dibawa saya, nanti bakal sulit. Jika yang menyetir orang lain, akan repot.
Saya pikir OK. Saya masih memahami.
Hanya saja istri saya tidak setuju. Sebaiknya STNK juga termasuk.
Kalideres, 17 November 2021