Tantangan Menulis Hari ke-124
Oleh Bernardus Ari Kuncoro
Sunyi berganti. Suara kicauan merdu belasan burung memecah subuh. Mesin sepeda motor yang dipanasi oleh tetangga juga mulai menderu. Tidak lama kemudian, wuzzz wuzzzz. Mulai saya menulis. Sebelumnya saya melepaskan dahaga. Habis saya teguk seperempat gelas air. Lega. Isi perut nanti pasti akan tercuci. Sisa-sisa pencernaan pada saat rehat semalaman akan melewati siklus kehidupan.
Ngomong-ngomong, tadi malam saya mencerna sebuah video dari TED.
Ada dua orang yang sudah senior. Usia sekitar tujuh puluh lima tahun. Mereka sepasang suami istri. Awalnya memiliki dua putri. Tetapi suatu ketika putri pertamanya meninggal dunia. Tinggal putri bungsu saja yang berusia dua puluhan. Namun, dia tidak tinggal bersama lagi, karena ia bekerja di sebuah kota besar. Lumayan jauh dari rumah orangtuanya.
Suatu hari sang ayah menerima telepon dari orang tidak dikenal. Telepon itu berisi ancaman. Ada suara yang mirip putri bungsunya dan sedang berteriak-teriak minta tolong. Suara lainnya adalah seorang pria yang mengancam akan membunuh putrinya kalau tidak memberikan tebusan. Seperti kasus penculikan yang dibuat-buat. Sehingga banyak orang tua langsung percaya. Anda dapat menonton langsung cerita dari kakak ini di video yang saya pasang di akhir tulisan. Supaya lebih jelas.
Apa yang ingin disampaikan dari cerita ini? Ada tema penculikan di cerita tersebut. Anak bungsu itu, yang notabene bekerja di bidang investigasi terorisme dan career expert, lantas menggali sebab musabab peristiwa ini. Ia bertanya kepada ayahnya, “Mengapa ayah langsung percaya pada suara ancaman di telepon itu?” Jawab ayahnya, “Aku tidak punya pilihan. Aku takut kehilangan putriku satu-satunya.”
Pernahkah Anda bertindak tanpa memikirkan pilihan-pilihan lain yang tersedia? Bisa jadi akar permasalahannya pada kemalasan Anda mencari pilihan? Atau keadaan yang memaksa Anda hanya punya satu pilihan?
Coba direnungkan.
Tulisan ini pernah terbit di sini.