277
Oleh: Bernardus Ari Kuncoro
Suatu sore A dan B sedang ngopi di sebuah kafe. Lama tak jumpa akibat pandemi.
Setelah bertanya tentang kabar-kabar. Mereka mendiskusikan suatu topik yang lebih dalam.
A: “B, saya jadi ingat wejangan guru dulu: Jangan asal bicara. Gunakan pikiranmu untuk menyunting dengan hati-hati dan mengukur apa yang kamu katakan.”
B: “Oh, guru Fisika dulu yang zaman SMP dan sering ngasih kata-kata mutiara itu ya. Well, ada benarnya, sih bro. Tapi bukankah itu lebih relevan dan cocok bagi orang yang sering berhubungan dengan orang-orang baru? Jika bicara dengan orang-orang dekat, kayaknya bolehlah asal bicara.
Hening sejenak.
B: “Tapi, setelah dipikir-pikir. Kita mesti filter, bro. Kalau nggak, hati orang terdekat taruhannya. Boleh lah, kita merasa pede dan nyaman ngomong dengan orang-orang dekat. Namun, belum tentu mereka nyaman loh. So, tetep harus refleksi juga. Apakah yang kamu ajak bicara nyaman.”
A: “Hmmm… bener juga ya. Mau bicara mesti mikir dulu. Mau nulis WA juga gitu. Mesti baca ulang apa yang kita ketik.”
B: “Kadang kita merasa sulit untuk paham sudut pandang orang lain. Simply karena kita nggak mau dengar. Nggak mikir. Hanya asal nyelekop dan nggak ada filter. Adanya ampas lah yang masuk ke hati orang. Nggak heran, kalau orang lain juga nggak ragu buat ngasih ampas juga ke kamu. haha…”
A: “Lho, ente nyindir saya! Nggak pakai diedit? Kurang aj*r…”
Kalideres, 16 Januari 2022